Terik matahari mulai mengenai tubuh-
tubuh yang berbaris memanjang. Seorang
lelaki paruh baya berdiri tegak di dekat
tiang bendera, memegang mic dan siap
angkat bicara saat orang di depannya
memberi komando pada orang-orang di
belakangnya.
"Seperti laut," bisik seorang teman padaku.
Aku tersenyum geli, mengangguk pelan
seraya mendengarkan dengan saksama.
Setelah mengucapkan kalimat pembukaan,
mengoreksi prilaku murid satu minggu
belakangan ini, kepala sekolah yang
menjadi pembina upacara itu pun berkata:
"Dunia itu seperti laut." Aku dan temanku
saling bertatapan. "Laut, terlihat indah
dipandang mata, namun tak ada yang tahu
apa yang ada di dalamnya. Entah
pemandangan bawah laut yang indah atau
terumbu karang yang pecah serta binatang
yang hampir punah. Maka, berpikirlah dan
jadilah seperti ikan di laut, meskipun air
laut terasa asin, namun ikan tidak
terkontaminasi rasa asin itu, padahal ia
berenang bebas dalam lautan, sesekali
melihat ke atas laut," lanjut kepala sekolah
memberikan amanat.
"Aku juga ingin bebas, tapi gak kayak ikan
karena aku gak bisa berenang," bisik
temanku.
Upacara hari senin pun selesai, seluruh
pasukan dibubarkan.
"Bosen banget amanat itu terus, saya
sampe hapal," kata temanku.
"Sama," kataku sambil mengajaknya
memasuki ruangan kelas.
"Saya punya ide." Dia menarik tanganku,
berlari menghampiri kepala sekolah yang
hendak memasuki kantor.
"Pagi, Pak," sapa temanku, basa-basi.
Kepala sekolah menoleh, kami pun
mencium punggung tangannya.
"Pagi juga. Apa ada yang ingin kalian
sampaikan?"
Temanku mengangguk mantap. "Terkait
amanat Bapak tadi, saya ingin bertanya
sesuatu," katanya.
Aku sedikit memandangnya, menyikut
lengannya. Tapi temanku itu sepertinya
tetap yakin akan apa yang dilakukannya.
Senyumannya terlihat mengembang.
"Silakan," kata kepala sekolah.
"Apa di dalam laut ada batu, Pak?"
"Tentu ada."
"Asin gak?"
"Nggak tahu, bapak gak pernah nyoba."
"Kalau nggak asin, saya mau jadi batu di
lautan aja, supaya bisa tetap ada di zona
nyaman tanpa perlu berhadapan dengan
predator/pemangsa. Kalau ikan nanti
dijaring manusia, dimangsa ikan yang lebih
besar, itu sama aja gak bebas. Batu bebas
diam, bebas menononton kehidupan
lautan," katanya. Entah apa yang
dipikirkannya saat itu. Aku baru tersadar
kalau sejengkal saja dia salah berpikir, kami
akan berada dalam masalah. Namun aku
tahu temanku itu pintar, jadi aku hanya
diam saja, persis seperti batu.
Mata kepala sekolah membesar, aku pun
bersiap-siap untuk lari jika tiba-tiba
emosinya meledak.
"Itu sama aja mati," jawabnya.
"Abisnya saya gak bisa berenang, gimana
mungkin jadi ikan?" temanku berkilah.
Perasaanku mulai tidak enak.
"Buat apa tiap semester ada praktek
olahraga berenang kalau kamu masih gak
bisa berenang juga? Nama kalian siapa?
Kelas berapa? Jurusan apa?"
Deg! Jantungku berdebar.
Kulihat wajah temanku yang mulai
kebingungan. Senyum yang tadi
mengembang kini hilang tanpa bekas.
"Kalian lagi apa di sini?" tanya guru B.
Indonesia yang baru saja keluar dari kantor
hendak menuju kelas kami untuk memulai
perlajaran pertama.
Kami masih terdiam.
"Kami lagi nanya ke kepala sekolah, Bu,"
jawabku sambil mencoba menyunggingkan
senyuman.
"Kan kata Bu Guru kalau malu bertanya
sesat di jalan." Temanku menyambung
jawabanku.
Guru B.Indonesia pun tersenyum, "Ya
udah, ayo cepat masuk ke kelas bareng
ibu."
Aku dan temanku mengangguk, "Kami
permisi dulu, Pak," ucap temanku. Aku
bersorak dalam hati. 'Selamatlah kami'.
Kami berdua berjalan mengikuti langkah
guru B.Indonesia.
Entah kenapa sejak saat itu kata-kata
tentang laut dan ikan tidak pernah
diucapkan kepala sekolah lagi saat upacara.
Namun para murid selalu ingat dengan
amanat itu, abadi dalam kenangan meski
sudah tak mengenyam bangku sekolah di
sana.