Senja telah dihantam petang, menyisakan
lelah pada manusia yang telah beraktivitas
seharian, seperti halnya Azis yang
mengendarai mobil dari Bogor menuju ke
Banten.
"Ki, masih jauh nggak sih? Pegel nih
tangan gue," seru Azis dengan raut
wajah kelelahan, namun tetap fokus
menyetir mobil sedan hitam, membelah
jalanan.
"Bentar lagi, Bang. Sabar ... kalau saya bisa
nyetir pasti kita gantian nyetir mobilnya,
sayangnya saya gak bisa nyetir mobil. Sorry
banget, Bang," jawab Riki yang duduk di
jok sebelah Azis.
"Yoi, gak papa, Bro. Selow."
"Eh, make up aku luntur gak sih?" tanya
Airin yang duduk di jok belakang bersama
Erna dan Rinda.
"Nggak kok," jawab Rinda.
"Meski tanpa make up, kamu tetep cantik,
Rin," kata Riki sambil tersenyum.
"Duh, adek gue kumat gombalnya," seru
Erna.
"Masa sih, Ki? Tapi aku gak percaya ah
kalau aku cantik tanpa make up, mataku
sipit gini tanpa maskara," jawab Airin
sambil memainkan matanya. "Erna, pinjem
kaca dong?" lanjutnya.
Riki tertawa kecil, diikuti gelengan pelan
kepala Azis mendengar percakapan
teman-temannya.
"Tuh di tas, ambil aja sendiri," ucap Erna
yang sibuk dengan gadget di tangannya.
Airin secepat kilat menyambar tas Erna,
mencari kaca. Namun karena terburu-buru
mengambil kaca itu, Airin menumpahkan
semua isi tas Erna.
"Rin, lu gimana sih? Ambil kaca aja sampe
tumpah segala?" umpat Erna ketika melihat
isi tasnya berantakan.
"Iya, maaf. Aku kan gak sengaja." Airin
memunguti barang-barang
Erna yang berjatuhan, dibantu oleh rinda.
"Alah, alasan aja lu. Ngeselin! Udah siniin
tas gue."
"Eh, kalian bisa diem gak sih? Gue gak
fokus nyetir nih!" ucap Azis.
Bruk! Tiba-tiba mobil yang mereka kendarai
menabrak sesuatu.
"Zis, kamu nabrak apaan?" tanya Rinda.
"Gak tau nih, perasaan tadi di situ gak ada
pohon. Tiba-tiba gue nabrak pohon. Maafin
gue, Sob. Tapi kalian semua gak kenapa-
kenapa kan?" tanya Azis.
"Saya sih gak papa, cuma kepala doang
agak pusing karena kebentur jok depan
tadi," kata Rinda.
"Lu mestinya belok tadi, Zis. Kenapa
lu lurus? Ya jelas aja nabrak." Erna
menggerutu sambil berkacak pinggang.
"Tadi kan gue udah biang, gue gak fokus
karena kalian ribut terus," tukas Azis.
"Eh udah dong, jangan berantem. Nyalain
aja mobilnya lagi, serem nih di sini banyak
pohon-pohon gede gitu," ucap Airin
ketakutan.
Azis pun mencoba menstarter mobilnya,
namun tidak bisa. Dicobanya lagi hingga
beberapa kali, namun mesin mobilnya tetap
tak menyala.
"Sial! Gak bisa nyala nih mobilnya," ucap
Azis sambil menghentakkan tangannya
di atas stir mobil.
Riki pun turun dari mobil untuk melihat
daerah sekitar, pandangannya terarah ke
segala penjuru, tak perlu waktu lama
untuknya mengenali tempat itu dan ia pun
langsung masuk kembali ke dalam mobil.
"Oke, temen-temen. Ini tempatnya udah
lumayan deket sama rumah bibi saya,
mendingan kita sekarang jalan kaki aja ke
sana. Tapi jangan ribut, jangan berantem
dan jangan banyak nanya. Lakuin aja apa
yang saya katakan, ini demi kebaikan kita
semua." Riki menjelaskan dengan wajah
serius. Teman-temannya pun mengangguk.
"Ki, mobil gue gimana?" tanya Azis
"Jangan banyak tanya, ayo buruan," ajak
Riki.
Mereka berlima pun keluar dari mobil dan
berjalan menuju rumah bibinya Riki yang
berjarak sekitar 1 KM dari mobil yang
mereka tumpangi, sesekali mereka berlari
kecil, hingga sampailah mereka di sebuah
rumah bercat biru.
Riki mengetuk pintu rumah itu,
"Assalamu'alaikum ... Bi, ini Riki.
Assalamu'alaikum ...."
Terlihat sebuah tangan menyingkap sedikit
gorden yang menutupi jendela, lalu
membukakan pintu dan mempersilakan
mereka masuk.
"Kalian terlihat terengah-engah,
memangnya kalian ke sini naik apa?" tanya
Bu
Darsih, bibinya Riki dan Erna yang tinggal
sendirian di rumah tersebut karena
suaminya bekerja di luar kota dan belum
mempunyai anak.
"Pake mobil, tapi mobilnya mogok. Jadi kita
jalan ke sini Bu," jawab Airin. "Eh, nabrak
pohon mobilnya. Gitu maksudnya,"
lanjutnya sambil membetulkan kuciran
rambut panjangnya.
"Iya, Bi. Mobilnya nabrak pohon di depan
makam stadion Maulana Yusuf itu, untung
gak kenapa-kenapa. Langsung aja saya ajak
mereka jalan kaki ke sini, bahaya kan kalau
lama-lama di sana," Riki menjelaskan.
"Bahaya kenapa, Ki?" tanya Azis.
"Oh tadi tuh makam Ki Tuan Syarif
Penancangan?" Erna menimpali pertanyaan
Azis.
"Iya. Tadi itu makam Ki Tuan Syarif
Penancangan atau lebih dikenal dengan
nama makam stadion Maulana Yusuf yang
merupakan salah satu tempat keramat di
Banten. Pemakaman dengan luas 1 hektar
itu ialah tempat disemayamkannya tokoh-
tokoh dan sesepuh Banten. Katanya,
banyak hal ganjil yang terjadi di sana,
pengendara yang lewat jalan di dekat
makam sering kehilangan kendali kemudi
kendaraannya manakala mereka
menampakan sikap arogan atau egonya,
akibatnya mereka mengalami
kecelakaan, ada yang luka-luka, patah
tulang dan meninggal dunia. Tembok
makam pun retak dan ada yang berlubang
karena seringnya terjadi kecelakaan di sana.
Kita patut bersyukur karena kita masih
selamat dari kejadian barusan." Riki
berkata panjang lebar.
"Ih .... Serem," ucap
Airin.
"Gue kira itu cuma mitos doang loh
Adek jelek," kata Erna sambil meledek
adiknya.
"Yee, makanya Kakak jangan
ngurusin skripsi yang gak kelar-kelar terus,"
balas Riki.
"Sudah, sudah ... yang namanya makhluk
gaib itu kan benar adanya, banyak
disebutkan dalam al-qur'an. Intinya, kita
sebagai manusia tidak boleh angkuh
berada di dunia ini, karena kita bukan satu-
satunya makhluk yang tinggal di dunia.
Jadikan ini sebagai pengalaman dan
pembelajaran untuk kalian. Sekarang, lebih
baik kalian istirahat. Katanya besok mau ke
keraton kesultanan Banten dan benteng
Speljwick? Tapi hati-hati ya kalau ke sana,
cepat pulang sebelum sore," ucap Bu
Darsih menengahi. Mereka semua
mengangguk, kecuali Azis.
"Eh, tunggu dulu. Mobil gue gimana?"
tanya Azis.
"Kalau orang arogan atau emosian
di sana aja kecelakaan, apalagi orang nyuri
di sana. Menurut Bang azis bakalan gimana
tuh orang? Lagian mobilnya dikunci kan? Di
sana juga ada Pak Aryo kok, penjaga
makam sana. Saya jamin besok mobilmu
masih ada di sana," kata Riki sambil
tersenyum.
Azis pun tersenyum seraya berkata:
"Bener juga lu, Ki. Kadang-kadang pinter
juga lu."
"Dari dulu, Bang ... dari orok
udah pinter, pinter nangis," jawab Riki.
"Kirain dari orok lu udah pinter
ngegombal, Ki." Azis menyikut lengan
Riki. Mereka pun tertawa mendengar
percapakan Riki dan Azis.
"Udah ah becandanya, aku ngantuk nih,"
ucap Airin.
"Ya udah, sana tidur Putri Airin yang manja,
kan kamu tidurnya bareng Kak Erna dan
Rinda. Jangan lupa doa ya," kata Riki.
Beberapa pasang kaki melangkah hati-hati,
menyusuri bangunan benteng dengan
tinggi 0,5 sampai 2 meter. Pemandangan
indah terlihat dari atas, sebuah sungai
mengalir, kelenteng yang berdiri megah,
serta lautan yang terlihat membentang.
"Baru kali ini aku jalan di atas
bangunan begini. Takut sih, tapi seru,"
ucap Airin.
"Ki, itu laut apa di sana itu?"
kata Rinda sambil menunjuk hamparan air
biru.
"Oh, itu pelabuhan Karangantu,
terhubung langsung dengan selat Sunda,"
jawab Riki.
"Adek jelek, pegangin tangan gue. Gue
takut jatoh," pinta Erna.
"Kakak nih nyusahin, tapi sini deh. Adekmu
ini siap pegangin," jawab Riki sambil
menggenggam tangan kakaknya yang
berjalan di belakangnya.
"Untung mobil gue gak kenapa-kenapa dan
bisa nyala, cuma bemper depan doang
penyok. Jadi setelah dibawa ke bengkel
langsung bisa kita gunain buat ke sini,"
ucap Azis menyeringai.
"Iya, Zis. Sesuatu tuh," kata Rinda.
Siang pun hampir luruh ditikam gelap.
Mereka bergegas keluar dari benteng
setelah puas berkeliling dan foto-foto.
Sekelebat bayangan tiba-tiba melintas di
depan mata Airin. Seketika ia menutup
mata dengan kedua tangannya untuk
beberapa saat hingga dirasanya bayangan
menyeramkan itu telah hilang. Saat dia
membuka mata, teman-temannya sudah tak
ada di dekatnya.
"Riki, Erna, Azis Rinda ... kalian kok
ninggalin aku sih. Aku takut," ucapnya
sendirian, sementara hari semakin gelap.
Teman-temannya sudah tak
terlihat, entah ke mana.
Airin segera mengeluarkan handphone dari
saku celananya.
"Ah, mana lobet lagi nih
HP."
Sebuah bayangan hitam datang
mendekatinya dari belakang, semakin dekat
dan semakin dekat.
"Aaaaaaaah," suara teriakan Airin
memenuhi seisi benteng.
Azis, Riki, Erna dan Rinda bergegas
memasuki mobil. Azis memasang sabuk
pengaman, begitu pun Riki.
"Eh, tunggu. Kayaknya ada yang kurang
deh," seru Erna.
"Apa?" tanya Riki.
"Eh, Airin mana? Kok gak ada?" Rinda
bertanya.
"Iya, Airin. Apa dia ketinggalan di benteng?"
Ucap Azis.
Rinda segera keluar mobil memeriksa
kemungkinan Airin berada tak jauh dari
mobil.
"Temen-temen, Airin ilang. Gak ada di deket
sini, jangan-jangan dia beneran ketinggalan
di benteng. Duh, gimana nih?" seru Rinda.
Riki, Azis dan Erna pun keluar dari mobil.
"Kalau Airin kenapa-kenapa gimana?
Benteng itu angker juga kan? Nanti gue juga
yang dimarahin nyokapnya Airin." Erna
panik, segera ia menelpon Airin namun
nomornya tak dapat dihubungi. "Mana HP-
nya gak bisa: dihubungi lagi," lanjutnya.
Azis memijat-mijat dahinya, sementara
Riki terdiam sejenak, lalu berkata: "Jangan
panik. Sekarang gini aja, saya sama Rinda
cari Airin di benteng, kalian berdua balik ke
rumah bibi kasih tau yang terjadi, telpon
polisi kek, apa kek, pokoknya nanti kalian
minta pendapat ke bibi. Oke Kak Erna, saya
bisa percaya Kakak dan Bang Azis kan?"
Erna dan Azis mengangguk.
"Pasti Ki, gue akan kembali secepatnya
nanti. Loe hati-hati sama Rinda ya, cari
Airin sampe ketemu," ucap Azis sambil
menepuk bahu Riki.
Mereka pun bergegas melakukan tugas
mereka masing-masing. Dengan kecepatan
tinggi Azis menyetir mobil agar segera
sampai ke rumah bibinya Riki dan Erna.
Setelah sampai di sana, Erna segera
menjelaskan apa yang terjadi pada bibinya.
"Apa? Bukannya bibi sudah bilang agar
jangan pulang sore-sore?" Bu Darsih
tampak kesal. "beberapa waktu yang lalu
ada isu tentang harta peninggalan
kesultanan Banten, orang-orang
berbondong-bondong mencari harta itu di
benteng Spelljwick yang dibangun di atas
reruntuhan keraton Surosowan pasca
penyerangan Sultan Ageng Tirtayasa, lalu
menurut kabar yang berembus arwah
pangeran Aryadillah yang merupakan anak
dari Sultan Maulana Hasanudin dan istri jin
marah. Memang, kematian pangeran
Aryadillah masih silang pendapat, ada yang
berkata bahwa sang pangeran menghilang
ke alam gaib atau negeri jin, ada juga yang
percaya bahwa pangeran Aryadillah gugur
saat berperang memperebutkan kekuasaan
di Palembang." Bu Darsih menghela napas
panjang. "seminggu sebelum kalian datang,
ada orang yang kesurupan di sana, katanya
makhluk halus yang masuk ke tubuh orang
tersebut ialah pangeran Aryadillah, dia
ingin warga tidak lagi mencari harta dan
mengacak-acak keraton Surosowan.
Pangeran Aryadillah baru mau keluar dari
tubuh orang tersebut setelah dibawa ke
kuncen kuburannya yang ada di Banten,
makam kalian lewati kemarin." Bu Darsih
menuturkan panjang lebar.
"Pantas saja tadi di benteng sepi. Cuma ada
kita berlima yang main di sana, padahal
kata Riki tahun lalu bentengnya rame,"
ucap Erna.
"Lalu, bagaimana dengan teman
kami, Bu?" tanya Azis.
"Ibu juga nggak tahu, karena ada juga yang
hilang di sana, sampai sekarang belum
kembali," kata Bu Darsih.
"Dret! Dreet!" Tiba-tiba handphone Azis
bergetar, sebuah SMS masuk dari Riki
yang memintanya untuk segera datang ke
benteng. Azis dan Erna pun segera pergi
kembali ke benteng, tak lupa mereka
berpamitan pada Bu Darsih terlebih dahulu
dan meminta doanya.
"Angkat tangan! Jangan bergerak, kalian
sudah kami kepung! Letakkan semua
senjata yang kalian punya ke tanah," seru
komandan polisi yang telah datang ke
benteng bersama pasukannya, beserta Azis
dan Erna.
"Terima kasih anak muda, tanpa kalian kami
tidak akan bisa menangkap banda narkoba
yang sedang kami buru," ucap komandan
polisi pada Riki, Azis, Erna dan Rinda
setelah pasukannya membekuk beberapa
orang berbadan tegap dengan baju warna
hitam dan penutup kepala yang sedang
membawa 7,5 Kg sabu-sabu dan 3,5 kg
ganja.
"Sama-sama, Pak. Kalau bapak butuh
kesaksian, kami siap menjadi saksi," jawab
Riki bersemangat.
"Tentu, silakan datang ke kantor kami besok
pagi," ucap komandan tersebut.
"Eh, kok kamu tahu sih Adek jelek kalau
mereka itu bukan hantu tapi bandar
narkoba?" tanya Erna.
"Penasaran ya? Siapa dulu dong, adiknya
Kak Erna," jawab Riki. "eh, Airin ada di
pojokan atas sana tuh,
tolongin dulu yuk? Dia dibius kayaknya.
Nanti saya ceritain deh detailnya," lanjut
Riki.
Mereka pun menolong Airin yang
belum sadarkan diri di pojok atas
bangunan benteng. Setelah itu, Riki
mengatakan pada teman-temannya
bahwa saat dia dan Rinda mencari Airin,
mereka melihat sinar merah terang di atas
menara pantau benteng, Riki menyuruh
Rinda memotretnya dengan handphone,
ternyata itu ialah sinar laser yang
digunakan untuk memberi kode dengan
sandi morse ke pelabuhan Karangantu.
Para pemasok narkoba itu
menyembunyikan narkoba di bagian bawah
benteng yang tak bisa dijangkau
pengunjung lain untuk mereka amankan
dari polisi. Saat pengamanan di pelabuhan
lemah, bandar narkoba itu segera mengirim
barang haram itu ke pelabuhan untuk
menyebrangi selat sunda dan sampai ke
pulau yang mereka tuju. Isu arwah sesepuh
dibuat hanya untuk memastikan narkoba
yang mereka simpan aman, begitupun
orang-orang yang mereka bayar untuk
berpura-pura kesurupan. Riki
mengetahui penyimpanan narkoba di
benteng tersebut karena ia melihat bekas
kolam di sisi belakang atau sisi selatan yang
menempel pada benteng seperti baru digali
dan ada bubuk putih sedikit berserakan di
sana, serta percakapan para kurir narkoba
itu Riki dan Rinda dengar dengan jelas.
Mereka tak memungkiri bahwa benteng
tersebut memiliki penunggu, karena mereka
diarahkan oleh sesosok bayangan besar
yang mereka ikuti hingga mengetahui
kejahatan yang tersembunyi itu.